Pantas saja persepakbolaan di Indonesia sulit maju. Ini asumsi saya saja sebagai masyarakat awam, apalagi terkait dengan berbagai pernik yang berhubungan dengan sepakbola.
Membaca dari berbagai media; betapa enak dan makmurnya para pemain di luar negeri, terutama yang bermain di liga-liga utama, ini sungguh berbalik arah dari apa yang dialami oleh para pemain sepakbola di negeri ini. Para pemain sepakbola di luar negeri, memang membuat iri; transfer ratusan milyar hingga trilyunan rupiah, gaji mereka pun dari yang puluhan, ratusan hingga milyaran per pekan. Per pekan pula, bukan bulanan seperti pemain di Indonesia.
Betul-betul membuat iri. Sementara para pemain sepakbola di luar negeri bergelimang materi dan kemewahan, coba tengok para pemain pemain sepakbola kita. Tengok para pemain PSMS Medan yang sudah 10 bulan gaji mereka ditunggak oleh manajemen klub tersebut. Jangankan untuk bisa berkelebihan materi hingga bergelimang kemewahan, mereka terpaksa ada yang “nyambi” menjadi tukang parkir dan berjualan air mineral untuk membiayai kehidupan keluarga mereka sehari-hari.
Jika para pemain sepakbola di luar sana seperti Christiano Ronaldo, Lionel Messi, Mario Gomez, Neymar, dan lainnya, mereka dikejar-kejar oleh para kru pers, paling tidak dikejar petugas pajak karena lupa membayar kewajiban, para pemain PSMS Medan justru menjadi kejaran petugas PLN karena menunggak bayar listrik, dan dikejar oleh pemilik rumah kontrakan sebab sudah telat bayar.
Ironis sekaligus tragis. Beberapa waktu lalu sempat santer pemberitaan media massa perihal seorang pengusaha Indonesia, Erick Tohir yang menawar akan membeli saham salah satu klub sepakbola papan atas di Serie A Italia. Konon pengusaha dari Mahaka Grup itu kini merupakan pemilik sebuah klub sepakbola yang berlaga di League Major Soccer (LMS) di Amrik. Jika menghubungkannya dengan krisis gaji yang dialami oleh para pemain sepakbola di PSMS Medan, sebagai orang awam, kita melihatnya tindakan pengusaha tersebut sebagai sok-sokan.
Kita juga maklum jika pengusaha mengincar klub sepakbola papan atas dunia, itu tujuannya disamping karena dikalkulasi profitable, profit oriented, juga menyangkut kredibilitas dan reputasi sebagai seorang pengusaha. Namun jika kembali sebagai seorang warga negara, maka bicara tentang nasionalisme; dimana setidaknya ia juga turut memperhatikan apa yang berada di negerinya sendiri. Ah, andai saja Erick Tohir berkeinginan mengelola PSMS Medan, tentu para pemainnya tak perlu sampai tidur di pelataran Monas dan menginap di mesjid Al Bina Jakarta.
PSSI selaku pemegang otoritas sepakbola di negeri ini mesti mengambil langkah dan tindakan terhadap klub sepakbola yang manajemennya tak memiliki dana cukup untuk ikut berkompetisi, atau kondisi seperti yang menimpa para pemain PSMS Medan akan terus terulang dan terulang. Jika sepakbola ingin maju di negeri ini, jangan biarkan para pemainnya berlaga di lapangan hijau dengan perut keroncongan sambil memikirkan masa depannya juga masa depan keluarganya. Apalagi bermain sepakbola, menjalani pertandingan sambil membawa masalah parkiran dan air mineral didalam benak.