SELAMAT DATANG DAN BERKUNJUNG DI ISP 68 BLOG
Benih Cintaku Bersemi di Kebun Cabe - ISP68

Xticker

Merangkai Kata Merajut Asa

Definition List

   # 

Rabu, 05 Maret 2014

Benih Cintaku Bersemi di Kebun Cabe

Aku jadi tak konsentrasi dan fokus terhadap pekerjaanku. Sudah beberapa kali mengulang hitungan dari awal. Kupikir kalau terus-terusan mengulang hitungan, tak saja jari jemariku yang pegal, tapi juga keypad kalkulator bakalan lecet terkelupas.

Sejak usai shalat magrib tadi di ruang depan sudah mulai ramai warga sekitar barak kami berdatangan untuk nonton tivi. Warga berbaur dengan para karyawan di perusahaan kayu yang kukelola bersama seorang teman dan istrinya. Warga yang berbaur dengan para karyawan itu sudah menjadi pemandangan rutinku setiap malam. Maklum sarana hiburan di tempat kami membuka usaha, sangat minim, disamping juga belum adanya listrik PLN.

Tempat kami buka usaha perkayuan itu berada di pelosok dekat perbatasan antara Kalsel-Kaltim. Disini tempat berkumpul beberapa etnis dari berbagai daerah, berbaur dengan penduduk asli dari etnis Dayak dan Banjar, mengadu nasib, mengais rejeki dari lebat dan rimbunnya rimba raya Kalimantan.

“Kamu mesti cepat-cepat cari istri supaya ada yang mengurus, daripada uangmu habis terus tiap dapat bagian,” kalimat ini sudah sangat sering kudengar dari temanku, Fahrin dan istrinya, Fitriyani.
“Tenang aja, nanti juga kalo memang ada jodoh pasti aku nikah, belum ada yang cocok aja,” dalihku.
“Kalo kamu belum ada calon, nanti kami yang carikan, dijamin pasti sip,” tawar temanku sambil mengacungkan jempol kanannya.
“Sabarlah, mas,” sahutku buru-buru menjauh.


Malam ini kembali aku tak konsen terhadap pekerjaanku. Masalahnya meja tempatku bekerja berada persis di ruang depan dimana tivi berada, dan berbaur dengan warga yang menonton.
Bukan acara di tivi yang membuatku tak konsen bekerja, tapi salah seorang penonton yang persis duduk menghadap ke arah meja kerjaku.
Penonton yang mengganggu konsentrasiku itu adalah seorang wanita yang kutaksir berumur 20 tahunan.
Sambil terus melanjutkan pekerjaanku menghitung hasil produksi kayu siang tadi, sudah beberapa kali aku mencuri pandang ke arah wanita itu. Tampaknya wanita itu pun sadar kuperhatikan. Dan kami sempat pula beradu pandang, dia buru-buru tertunduk, dan aku pura-pura mengalihkan pandangan ke arah lain.
“Gila, di tempat kayak gini masih ada cewek cantik,” pikirku sambil menerawang menatap langit-langit ruangan.

Aku pun berpikir pasti ada diantara karyawan kami yang mengenal wanita yang sering nonton tivi di tempat kami itu. Setidaknya warga yang tinggal dekat barak kami ada yang kenal dia.
Aku pun memulai penelusuran mencari tahu perihal diri dan keberadaan wanita yang akhir-akhir ini mengganggu konsentrasi bekerjaku.
“Ooo…..yang itu. Namanya Mariana, janda beranak satu,” ungkap seorang tetangga kami yang tinggal di samping barak.
“Oh ya,” cuma itu yang bisa keluar dari mulutku. Perasaanku saat itu berada diantara kaget dan sedikit kecewa setelah mengetahui statusnya janda beranak satu.
Rupanya Bu Ida, tetangga kami itu dapat membaca perasaanku.
“Janda atau perawan nggak banyak bedanya. Banyak yang belum pernah menikah tapi sudah nggak perawan lagi. Mending janda, sudah pasti ketahuan nggak perawan,” sambung Bu Ida seolah mempengaruhiku.
Aku cuma mendengarkan ocehan Bu Ida yang kunilai ada benarnya.
“Setahuku Mariana itu anaknya baik. Dia ditinggal suaminya saat sedang hamil. Hingga anaknya sudah jalan usia 2 tahun, suaminya tak ketahuan dimana, tak ada kabar beeritanya,” lanjut Bu Ida lagi.
“Wah, kasian sekali,” ujarku menunjukkan simpati.
“Kaloo ada niat dan minat, nanti aku siap jadi mak jomblangnya, bos,” kata Bu Ida menggodaku.
“Bisa diatur,” balasku sambil senyum.

Melalui Bu Ida, akhirnya aku banyak tahu tentang Mariana, janda beranak satu itu.
Mariana yang berkulit agak kuning, berambut lurus sebahu, bermata agak sipit, hidung bangir, tinggi sekitar 160-an sentimeter, dia adalah wanita dari etnis Dayak.
“Dia tinggal bersama kakak perempuannya. Rumahnya dari sini sekitar hampir satu kilometer,” info Bu Ida.
Aku cuma diam menyimak info Bu Ida.

Seperti malam-malam sebelumnya ruang depan barak kami selalu ramai pengunjung. Tapi malam ini tak tampak Mariana diantara warga yang menonton tivi. Aku gelisah, celingukan sampai ke pintu depan dan keluar barak, mencari jangan-jangan Mariana masih berada diluar. Namun usahaku sia-sia. Halaman barak kosong, sepi, cuma kumpulan pohon pisang yang disinari temaram listrik 5 watt.
Aku pun kembali masuk. Acara tivi yang tampak ramai karena suara penonton yang riuh rendah, tak menarik minatku untuk ikut menonton. Biasanya aku getol dan selalu bergairah untuk nongkrong di meja kerjaku untuk menyelesaikan pekerjaan hitungan, malam itu aku lebih memilih berbaring di tempat tidur sambil menyetel lagu-lagu The Mercy’s.

Besoknya aku pun mencari info mengenai tak munculnya Mariana ke barak kami tadi malam. Siapa lagi yang bakal kutanya kalau bukan Bu Ida.
“Tadi aku ada ketemu kakaknya, ia bilang tadi malam anak Mariana sakit,” cerita Bu Ida.
Aku mendatangi Bu Ida bukan cuma menanyakan tentang Mariana, tapi sekalian mencari cabe untuk makan siang nanti. Sudah jadi kebiasaanku tak selera makan bila tidak pedas.
“Kebetulan kalo sampeyan mau cari cabe, di kebun kakaknya Mariana banyak,” ujar Bu Ida.

Setelah menimbang-nimbang, dan mencari trik serta mengumpulkan keberanian, aku putuskan untuk pergi ke rumah kakaknya Mariana. Kupikir sambil menyelam minum air; dapat cabe sekalian bisa ketemu Mariana.
Aku pun memacu sepeda motor ke arah rumah yang dimaksud Bu Ida sebagai rumah kakaknya Mariana.
“Sampeyan jalan lurus aja, nanti di sebelah kanan jalan ada rumah kayu tanpa cat, berada di tempat yang agak tinggi, sampeyan mampir aja,” begitu tadi petunjuk dari Bu Ida.

Di halaman rumah tampak seorang wanita separuh baya sedang mencabut kacang tanah yang tumbuh memenuhi halaman yang cukup luas.
“Assalamu alaikum, bu,” aku mengucap salam.
Wanita yang sudah mengetahui kedatanganku itu pun menyahut salamku.
“Ooo…..kukira tadi siapa, silakan naik ke rumah,” ujar tuan rumah sambil melangkah di depanku.
Aku pun memarkir sepeda motor di tempat yang agak teduh dibawah pohon cempedak di samping rumah.
“Yana……! Coba keluar, ini ada tamu,” seru kakaknya.
Tak berapa lama keluarlah Mariana. Pandangan kami sempat beradu. Dug…jantungku seketika berdebar, suhu tubuhku tiba-tiba memanas. Adapun Mariana langsung menunduk.

“Silakan masuk, mas,” Mariana mempersilakan sambil tetap menunduk.
“Terima kasih. Disini aja, nggak lama kok,” sahutku, karena di teras terdapat kursi panjang dari kayu ulin.
Tak berapa lama kakak Mariana muncul sambil menyuruh adiknya membikin air teh.
“Nggak usah repot-repot, mbak. Aku cuma mampir cari cabe,” ujarku.
“Cabe buat sambal maksudnya ?” Tanya kakak Mariana.
“Iya,” sahutku singkat.

Karena masih meneruskan pekerjaannya mencabut kacang tanah, kakak Mariana meminta adiknya menemaniku mencari cabe di kebun yang terletak di belakang rumah.
“Kamu temani si mas itu cari cabe,” pinta kakaknya ke Mariana.

Kami berjalan kaki ke kebun cabe yang jaraknya sekitar 200-an meter dari rumah.
Mariana berjalan di depan, aku mengiringinya dari belakang.
“Namaku Irfan, nama kamu Mariana, kan ?” Cetusku.
“Kok tau, bang (?)” Sahutnya.
“Ya iyalah. Aku tanya ke orang-orang sini,” sambutku.
Tak terasa tibalah kami di kebun cabe yang cukup luas.
Mariana pun mulai mematah tangkai pohon cabe.
“Kok pohon cabenya dipatah, bukannya buah cabenya aja yang dipetik satu-satu,” tegurku heran.
“Kalo dipetik satu-satu lambat, bang. Kebiasaan kami disi dipatah aja. Nanti tanamannya diganti dengan yang baru. Lagian lebih mudah dibawa dengan tangkainya,” balas Mariana sambil terus mematah tangkai cabe.
“Cukup segitu, jangan banyak-banyak, nanti aku lambat kesini lagi,” ujarku menggoda Mariana, yang tampak senyum menyembunyikan wajahnya.

Usai memetik cabe kami kembali ke rumah. Kami disambut kakak Mariana.
“Cukup nggak cabenya segitu, kalo kurang ambil aja lagi,” kata kakak Mariana.
“Lebih dari cukup, mbak,” sahutku.
“Jangan pulang dulu. Aku lagi merebus kacang tanah, tunggu matang dan makan kacang dulu baru pulang,” kata kakak Mariana pula.
“Sudahlah mbak, nggak usah repot-repot,” balasku.
Kakak Mariana tak membalas ucapanku, ia langsung masuk rumah. Sedangkan Mariana setelah meletakkan tangkai-tangkai cabe di lantai teras, juga ikut masuk kedalam rumah.

Aku, Mariana, ditemani kakaknya yang bernama Murni, duduk di teras sambil menikmati kacang rebus sambil minum teh.
Tak banyak yang kami omongkan, hanya soal pekerjaanku dan pekerjaan suami Murni.
“Suamiku kan sering jual kayu gelondongan ke penggergajian sampeyan,” ungkap Murni.
“Oh ya, siapa nama suaminya, mbak ?” Tanyaku.
“Namanya Hamdi,” jawab Murni.
Aku pun mengingat-ingat para penjual kayu yang jumlahnya banyak, yang sering menjual ke tempat kami.
“Aku ingat mbak, itu kan yang agak gemuk kuning bermata agak sipit,” ujarku menebak.
“Betul itu mas. Ini orangnya lagi pergi masuk hutan,” sahut Murni sekaligus memberitahukan keberadaan suaminya.

Mariana yang lebih diam, jadi pendengar perbincangan kami, akhirnya permisi masuk. Aku pun merasa sudah cukup lama, minta pamit pulang.
“Berapa harga cabe itu semua ?” Tanyaku ke Murni.
“Sudah, nggak usah dibayar, bawa aja. Kalo perlu cabe lagi, datang aja,” ujar Murni.
Beberapa hari kemudian aku ketemu Murni di pasar pekan.
“Kok nggak ada ke rumah lagi cari cabe, apa sudah dapat kebun cabe yang baru, mas ?” Sapa Murni menggodaku.
“Ah, mbak ini bisa aja,” sahutku sambil tersenyum.
“Lagi cari apa di pasar, mas ?” Tanya Murni.
“Lagi cari pakaian aja. Kok nggak sama Mariana ?” Tanyaku balik.
“Mariana di rumah aja. Dia kurang suka ikut ke pasar,” jawab Murni.
“Oh gitu ya, salam aja sama Mariana,” ujarku sambil meninggalkan Murni.
Rupanya salamku tempo hari disampaikan Murni ke Mariana.
“Mariana bilang salam balik aja,” kata Murni saat ketemu aku di rumah Bu Ida.
“Masa sih,” ujarku.
“Iya, masa aku bohong. Kalo nggak percaya, mari ikut aku ke rumah,” ajak Murni.
Mendengar penuturan Murni, ada perasaan senang menyeruak dalam dadaku.
“Nanti aja aku main kesana lagi,” sahutku menampik ajakan Murni. Kupikir belum saatnya aku kesana lagi.
Malamnya aku membayangkan sosok Mariana yang akhir-akhir ini menggoda dan mengisi sisi relung perasaanku. Aku juga memikirkan status Mariana yang janda dengan anak satu. Bila aku memang berjodoh dengannya, sudah siapkah aku juga menyayangi anaknya.
Terjadi pergulatan bathinku antara menginginkan Mariana dengan kesiapanku menyayangi anaknya.
Hingga menjelang subuh aku belum juga dapat memejamkan mata. Namun ada sesuatu keputusan yang akhirnya dengan tekad bulat bakal kuambil. Aku bertekad untuk mendapatkan Mariana dengan status dan keadaannya apa adanya. “Anak adalah titipan Tuhan. Bila memang aku berjodoh dengan dia, berarti Tuhan berkenan menitipkan anak itu padaku,” bathinku.
Usai makan siang, setelah memberi pengarahan kepada para pekerja di penggergajian, aku memutuskan untuk bertamu ke tempat Mariana. Bulatku sudah bulat untuk menyatakan sesuatu tentang perasaanku. Dan aku pun sudah siap jika kenyataan yang kudapat bukan yang kuharapkan. “Yang penting maju, urusan diterima atau ditolak, itu urusan belakangan,” tekadku yakin.
Setibanya di tempat Mariana, disana juga tampak Hamdi, suami Murni. Semua keluarga mereka tampaknya terkumpul; Mariana dan anaknya, Murni, suaminya berikut kedua anaknya pula.
“Silakan masuk, bos,” ujar Hamdi mempersilakanku.
Aku pun masuk bergabung dengan mereka.
“Yah, beginilah keadaan kami disini,” kata Hamdi.
“Sama aja, mas. Yang penting bukan rumahnya, tapi orang-orang yang menjadi penghuninya,” balasku sok berfilosofi.
Beberapa saat dari arah dapur, Murni muncul sambil membawakan 2 gelas teh berikut sepiring singkong goreng.
“Silakan dinikmati, mas,” Murni mempersilakan.
“Terima kasih, mbak,” sahutku.
“Oh ya mas, kebetulan ada disini, saya sama bapaknya serta anak-anak sebentar lagi mau berangkat ke desa tetangga. Ada keperluan menemui saudara disana. Kami pulangnya mungkin agak malam. Tolong mas disini aja menemani Mariana, dia tinggal sendirian,” ungkap Murni yang diiyakan oleh suaminya.
“Iya bos, disini aja sampai kami kembali,” pinta Hamdi.
Sebenarnya aku sangat senang diminta menemani Mariana, tapi sikap senang sekaligus kagetku itu semampunya kusembunyikan. Aku hanya menganggup tanda mengiyakan permintaan mereka.
Sepeninggal Murni dan suaminya, tinggallah aku dan Murni di rumah. Aku memutar otak untuk dapat memulai pembicaraan untuk mencurahkan seluruh perasaanku ke Mariana.
“Kemarin kamu kok nggak ikut ke pasar pekan dengan kakakmu ?” Tanyaku memecah kebuntuan.
“Aku malas dan jarang ke pasar, mas,” sahut Mariana.
“Kalo aku yang mengajakmu ke pasar nanti, mau nggak ?” Tawarku.
“Ngapain kita ke pasar ?” Balik Mariana bertanya.
“Terserah Mariana mau apa, beli pakaian, makan bakso, atau apa aja maunya,” balasku.
“Ngga ah, malas,” sahut Mariana.
“Terus maunya apa ?” Tanyaku lagi.
“Nggak mau apa-apa,” sahut Mariana lagi.
Aku kehabisan kata-kata untuk meneruskan percakapan. Pikirku ini kesempatan baik mumpung berduaan untuk mencurahkan perasaanku. Lain kali belum tentu aku dapat kesempatan sebaik ini.
“Aku harus nekad. Lebih baik menahan malu daripada dapat hasil nihil,” pikirku dalam hati.
Dengan semangat untuk mendapatkan Mariana, aku bangkit dari duduk, melangkah mendekat dan duduk disamping Mariana.
“Diajak ke pasar nggak mau. Diajak apa aja juga nggak mau. Gimana kalo aku ngajak kamu pacaran sama aku (?)” kataku dengan nada konyol.
“Pacaran aku nggak mau,” balas Mariana.
“Nggak mau jua ?” Tanyaku sambil berusaha menatap wajah Mariana yang terus berusaha menghindar.
“Oke kalo nggak mau pacaran. Gimana kalo aku langsung lamar kamu, kita kawin aja,” ujarku mantap.
Mariana diam saja mendengar ucapanku. Aku pun gelisah menanti jawaban.
“Mas Irfan yakin dengan ucapan barusan. Apa mas Irfan sudah tahu persis keadaanku ?” tercetus pertanyaan keluar dari mulut Mariana sambil menatapku.
“Sudah, aku sudah tahu semuanya. Dan aku sudah bertekad dan yakin dengan pilihan dan keputusanku,” sahutku tanpa nada keraguan sambil meraih tangan Mariana.
Beberapa saat kami berdua larut dalam perasaan masing-masing, perasaan bahagia. Kami berdua pun tanpa ragu saling berdekapan untuk beberapa lama.