Kampung kami dibelah oleh sungai cukup besar yang bermuara ke Laut Jawa, waktu itu menjadi lokasi kegiatan puluhan usaha penggergajian kayu. Ribuan meter kubik kayu gelondongan setiap harinya ditebang untuk diolah jadi sawn timber (kayu masak), dikirim keluar daerah.
Nafas dan denyut kehidupan warga di kampung kami kala itu tak bisa lepas dari usaha di bidang perkayuan.
![]() |
courtesy : kontan.co.id (modif) |
Banjir yang tak pernah datang sebelumnya, sedikit demi sedikit pun naik menggenangi daratan kampung kami. Sungai yang sekian lama ramah, meluap kelebihan menampung air karena semakin minimnya kayu yang menyerap air di hulu dan kanan kiri sungai.
Dulu para penebang kayu di hutan, mereka menyisakan banyak pokok-pokok kayu. Setelahnya datanglah para penambang batubara. Mereka ini justru lebih parah. Pohon-pohon kayu dibabat hingga tercerabut dari akarnya. Menggali tanah puluhan hingga ratusan meter untuk mengeruk ‘emas hitam’.
Jutaan metrik ton dalam setahun batubara yang dikeruk dari dalam bumi kampung kami. Yang parah cuma sebagian kecil bekas galian tambang itu yang ditutupi kembali alias direklamasi. Kala hujan tak mau berhenti dalam beberapa hari, kami sudah tahu banjir langganan bakal datang bertamu. Air bawaan banjir itu berwarna kecoklatan, sehingga warga kami berkata, “air ini direbus saja lalu diberi gula, warnanya sudah mirip dengan teh susu.”
Sudahlah, kukira ini hanya sekedar curahan hatiku saja karena terbawa keadaan banjir di Jakarta. Kampung kami jelas tak bisa dibandingkan dengan Jakarta yang sangat penuh diperhatikan. Sedangkan banjir di kampung kami, cukuplah kami berserta aparat pemerintah setempat yang menanggulanginya. Padahal kami semua tahu, royalty dari penambangan batubara itu dikirim ke Jakarta. Dana Reboisasi dari pengusahaan hutan di kampung kami pun dulu sama dikirim ke Jakarta.
Andai air banjir di kampung kami bisa kami kirim, maka kami tentu akan mengirimnya juga ke Jakarta berikut Royalty Batubara dan Dana Reboisasi sekaligus.